jauh di antara kita

Ia selalu merasa lelaki itu akan pergi, suatu ketika nanti. Matanya selalu memandang ke jauh, ke segala sesuatu yang tampak tak berbatas. Laut. Langit. Bilangan-bilangan tak berdefinisi atau kurva-kurva asimptotik yang tak punya akhir yang jelas, seperti yang pernah ia ceritakan suatu ketika. Matanya khusuk setiap ia bercerita hal-hal seperti itu, tapi juga sekaligus teduh. Teduh yang mengundang lara, yang menunggu waktu sebelum akhirnya membludak, luber, dan bermuara pada entah apa.

Tapi mata itu juga yang membuatnya terpikat. Membuatnya diam-diam berharap kalau dia-lah muara itu.
“Kita pulang?” bisik lelaki itu, dan untuk sesaat mereka bertatapan.
Ia tersenyum. Hari masih sore dan laut masih belum pasang. Angin sepoi-sepoi dan ia masih ingin berlama-lama di pantai itu.
“Mas ada janji?”
Lelaki itu menggeleng dan ia membenamkan kepala ke lengannya yang kokoh. Lelaki itu tersenyum sesaat, dan tiba-tiba jauh itu tidak lagi ada.

*

nubuat

mungkin hanya daun-daun mapel
yang gugur
mungkin juga tidak.
dan kita saksikan,
nubuat yang sesunyi
air mata:

kelak,
di balik kabut
kau bisa menjadi apa saja,
mungkin juga
seseorang
yang selalu pergi

selusin

-satu-
malam,
dan setangkup puisi
rembulan bulat jauh

-dua-
sebilah ilalang
membelah
bulan

-tiga-
lukaku kupukupu
melayang rendah
di punggung sabanamu

-empat-
sesekali kau
tersenyum, aku mencintaimu
lebih lama

-lima-
sebulir embun,
sebuah telaga
perpisahan, jatuh bergetar

-enam-
kesedihan
bercahaya
di pipimu

-tujuh-
pintu, jendela,
atap, kaktus kecilmu
kuletakkan di mana?

-delapan-
suara hujan,
rumput di halaman telah memanjang
hatiku basah

-sembilan-
seekor kunangkunang pergi
kelopak krisan
jatuh sehelai

-sepuluh-
genta angin
berdentang perlahan-lahan
rambutmu, menghelai di udara

-sebelas-
ranting-ranting pohon di musim gugur,
kesepian kita seperti
selembar daun terakhir

-dua belas-
angin menderu
mendung menggulung-gulung,
layang-layang di udara sendiri saja.

cahaya

– kecemasan –
sebatang lilin
berdebar
hatiku berbadai

– harapan –
lampu di tepi jalan
batu-batu padam
matamu kian malam

– perpisahan –
bayangan di telaga
mendekap
kehilangan penghabisan

– rindu –
cahaya purnama
tergelincir
di pipi

semakin jauh kau berlari dan aku melarikan diri

semakin jauh kau berlari dan melarikan diri, semakin dekat
kita dengan hari-hari panjang dalam sebuah cerita. jalan
dan perjalanan hanya berbeda di beberapa baris tentang siapa yang
saling meninggalkan, atau bagaimana kita membayangkan sebuah penghujung
yang barangkali tak pernah benar-benar ada. cinta membuatku paham,
terkadang daun-daun mesti jatuh, dan setiap pertemuan
seringkali hanyalah rencana yang tak mesti jadi.

semakin jauh aku berlari dan melarikan diri, semakin riuh
sunyi dan persembunyian. aku membenci bagaimana kau serupa
pemburu dan aku gading-gading retak yang selalu berhasil
kau temukan. masa lalu ternyata ialah angin yang berhenti setiap
matamu menembus jantungku saat kau sediam ledakan bintang-bintang.
cinta telah membuat kita percaya pada hal-hal yang tak bisa dimiliki,
maka kubiarkan kau perlahan-lahan jatuh:

semoga kelak kita punya cukup waktu
untuk mengucapkan permohonan…..

juni setabah puisi dan cinta selepasnya

:bersama Ama Achmad (angintimur)

1.
di juni setabah puisi kita
mungkin akan saling menemukan: satu
dua onomatopoeia untuk kata-kata
yang saling tidak kita ucapkan. di dadaku
kau menjadi rahasia yang
tak memiliki bunyi dan aku
masih pendengar
setia.

2.
kau menuliskan hal-hal yang sebentar
dengan seribu kalimat penghiburan.
aku menggarisbawahi janji,
dari cahaya separuh uzur dan
langit yang pernah suam.
kita, selepas beberapa baris
puisi, ternyata tak lebih sunyi dari
sesuatu yang jatuh bersama takdir,
dan lalu bersembunyi pada
keabadian sebuah ciuman
perpisahan.

3.
di suatu hari libur yang baik
aku dan kesedihan berselisih jalan.
namamu menjadi kenangan paling jauh,
yang bertahun lalu kupinjam
untuk menyimpan hal-hal yang tak kita tahu,
seperti tanda untuk membuka puisi panjang,
atau juni yang tak lagi memberi arti
pada bagian akhir percakapan
kita.

4.
sebab ada yang selalu tak terhitung
pada jumlah pelukan-pelukan kita;
dingin di pintu rumah, mimpi yang hangus
di halaman belakang. di ruang tengah, selalu ada
yang hilang juga menunggu, hanya untuk
belajar memahami cinta ialah
sesuatu yang kemarin dan tak tersentuh,
meski kita akan berusaha
menjangkaunya,

sekali lagi.

Surat Panjang dan Jendela Setengah Terbuka

:bersama DisaTannos @jemarimenari

1.
kau tak pernah pergi dan aku
lebih sendiri dari musim pengujung tahun.
bertahun-tahun aku berpura-pura
mengenalmu dan Januari
yang belum tiba selalu menyisakan
sedikit kehilangan.

2.
aku merangkum kamu
dalam sebuah pelukan yang tak mengerti
perpisahan, sebab masing-masing kita
tak tahu cara saling menatap selain
melalui hal-hal yang kaca pada
hari-hari paling mendung.

3.
kubayangkan kau jendela
dan aku jadi hujan kecil. betapa kita
disukai percakapan dalam surat-surat panjang.
kau menuliskan nama-nama anonim untukku
menutup puisi dengan kata-kata tak berantonim.

4.
bukalah jendela jika kepalaku terlalu riuh
dan kau tak juga terbiasa.
bila hujan berhenti kelak,
masihkah kau jatuh dan mencintaiku?

*

di ruang tunggu

selalu ada jurang,
konsonan yang tetap tak terucapkan,
dan sesuatu yang awanama
di ruang tunggu ini.

tapi pada waktu yang tak kasat
dan batas dingin sebuah tembok
tiada yang dapat mencegah kita dari

kejatuhan.